News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

DPP GMNI Pertanyakan Konsep Upah Minimum Padat Karya Dalam UU Cipta Kerja

DPP GMNI Pertanyakan Konsep Upah Minimum Padat Karya Dalam UU Cipta Kerja

Foto : Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino


Jakarta, Sangfajarnews.com
- Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) kembali melakukan kajian atas dokumen UU Cipta Kerja yang dikeluarkan oleh Baleg DPR RI. Dalam dokumen tersebut, Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menemukan konsep Upah Minimum Padat Karya yang tercantum dalam Pasal 88E ayat 3 UU Cipta kerja.


Arjuna menilai dalam UU tersebut tidak ada penjelasan secara rinci tentang konsep dan formula seperti apa Upah Minimum Padat Karya tersebut. Sehingga menurut Arjuna, implementasinya justru berpotensi menimbulkan polemik karena pengaturannya yang ambigu.


“Upah Minimum Padat Karya adalah konsep baru yang kami temukan dalam UU Cipta Kerja. Dan kami tidak melihat ada penjelasan secara rinci. Sehingga kami pertanyakan formulanya seperti apa, konsepnya bagaimana. Ini penting menyangkut implementasinya di kemudian hari”, jelas Arjuna.


Menurut Arjuna, adanya konsep Upah Minimum Padat Karya yang tidak diatur secara rinci dalam UU Cipta Kerja justru bertentangan dengan tujuan Omnibus Law itu sendiri yakni betujuan untuk menyederhanakan peraturan dan memberi kepastian hukum. Karena dalam UU tersebut hanya tercantum bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai upah minimum industri padat karya dan formula tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.


“Tidak ada penjelasan rinci. Hanya disebutkan ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Artinya, ini  lagi-lagi memperpanjang alur pengaturan upah minimum ke ketentuan yang lain, yang mana berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum”, tambah Arjuna.


GMNI juga menyayangkan hilangnya mekanisme Tripartit berkaitan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam UU Cipta Kerja. Dalam pasal 151 berbunyi “Pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh”. 


Disini menurut Arjuna, peran pemerintah dalam musyawarah antara organisasi buruh, dan pengusaha dalam menyelesaikan perselisihan industrial dihilangkan. Artinya, tanggung jawab pemerintah dalam mengupayakan tidak terjadinya pemutusan hubungan kerja dihilangkan. Sehingga PHK menjadi hal yang privat di mana seluruhnya diserahkan pada kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.


“Kami menyayangkan hilangnya mekanisme tripartit dalam hubungan industrial. Padahal peran pemerintah dibutuhkan untuk melindungi pekerja dari watak eksesif modal/investasi. Karena dasar negara kita masih Pancasila, yang artinya Negara punya tanggung jawab melindungi warganya dan Pemerintah memegang kontrol atas arus investasi. Sehingga tidak merugikan rakyat Indonesia”, tutup Arjuna.


Reporter : AR.

Editor     : Adhar

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar